Diduga Laporan Dana BUMDes Eks Kades Teluk Buntal Amburadul dan Dikelola Anak Sendiri

SELATPANJANG — Masyarakat Kepulauan Meranti kembali dikejutkan dengan kabar tidak sedap terkait pengelolaan dana BUMDes di Teluk Buntal. Mantan Kepala Desa Teluk Buntal, berinisial ‘AI’, diduga amburadul dalam pengelolaan BUMDes selama masa jabatannya, Rabu (15/05/24).

Sebagaimana diketahui, Badan Usaha Milik Desa atau BUMDes adalah sebuah lembaga usaha desa yang dikelola oleh pemerintah desa juga masyarakat desa tersebut dengan tujuan untuk memperkuat perekonomian desa dan dibentuk berdasarkan kebutuhan dan potensi yang ada di desa tersebut.

Namun sayangnya, berdasarkan informasi yang diterima oleh tim Perhimpunan Media Massa Nusantara (PMN), ‘AI’ diduga dalam menjalankan Badan Usaha Milik Desa (Bumdes) Teluk Buntal malah dikelola oleh anaknya sendiri, sehingga laporan keuangannya pun tidak jelas atau amburadul.

“Beliau ini (AI), menggunakan dana desa untuk mendirikan Bumdes yang dikelola oleh anaknya sendiri di sebuah ruko, tetapi laporan keuangan belum diketahui alias amburadul,” ujar salah satu masyarakat yang enggan disebut namanya pada Senin (06/05/24).

Masyarakat Kepulauan Meranti sangat menyayangkan tindakan ‘AI’ ini. Informasi yang beredar menyebutkan bahwa dana desa tersebut telah diberikan kepada kepala desa selanjutnya sebesar Rp. 300 juta rupiah.

Menanggapi berita tersebut, Kepala Desa Teluk Buntal yang baru, Haji Agus, menyampaikan kepada awak media dan pengurus PMN bahwa yang bersangkutan (AI) telah mengembalikan uang sebanyak 200 juta lebih kepada direktur Bumdes dan berjanji akan memberikan bukti kwitansi serah terima dana tersebut. Namun, sampai berita ini diterbitkan, bukti serah terima dana Bumdes Teluk Buntal belum juga dikirimkan.

Anehnya lagi, disinyalir setelah oknum mantan kades menyerahkan kembali uang sebesar Rp 300.000.000,- (Tiga Ratus Juta Rupiah) usaha BUMDES malah menjadi milik pribadinya.

Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan, “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.”

Sebelumnya, ‘AI’ juga terjerat dugaan penggunaan ijazah palsu saat mencalonkan diri sebagai Calon Legislatif (Caleg) DPRD Meranti tahun 2024 melalui partai PDI Perjuangan, yang menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat Meranti.

Tokoh masyarakat, Pak Haji, menekankan pentingnya klarifikasi dari pihak terkait atas dugaan tersebut. “Pak HAI seharusnya memberikan klarifikasi tentang dugaan penggunaan ijazah palsu atau ijazah orang (SD/SMP, *red),” ujarnya, menyoroti pentingnya integritas dalam proses demokrasi.

Sambungnya, “Bagaimana integritas ataupun kapabilitas wakil rakyat yang menggunakan ijazah ‘paket’ dari jenjang SD hingga SMA?”herannya.

Sementara itu, seorang warga Kepulauan Meranti, Mahmudin, mengklaim sebagai orang yang mengurus ijazah paket C untuk ‘AI’, namun tidak dapat menyebutkan nama sekolah dasar (SD) tempat ‘AI’ bersekolah. “Saya yang mengurus ijazah paket C setara SMA bapak HAI, nama SD-nya di Bengkalis saya lupa,” ujar Mahmudin kepada Ketua PMN, Hondro.

Diketahui, Tim investigasi Perhimpunan Media Massa Nusantara (PMN) kemudian menelusuri hingga ke Disdik Bengkalis dan tidak menemukan adanya jejak ijazah paket A setara SD.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Media Massa Nusantara (PMN), S Hondro, telah meminta KPU Meranti untuk menyelidiki dugaan tersebut berdasarkan laporan dari masyarakat. Meski telah dikonfirmasi melalui WhatsApp dan surat, ‘AI’ belum memberikan jawaban terhadap permintaan klarifikasi yang diajukan oleh PMN.

S Hondro menekankan pentingnya menjaga integritas dan kejujuran dalam proses demokrasi, dan berharap agar tindakan yang diambil oleh KPU Meranti dapat memastikan proses pemilihan umum berlangsung secara adil dan transparan.

Menggunakan ijazah palsu masuk ke dalam kategori bentuk kejahatan pemalsuan surat. Perbuatan ini berisiko dijerat dengan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP baru), yang mengatur larangan penggunaan ijazah dan gelar akademik palsu. KUHP baru memberikan sanksi penjara dan denda terhadap pelanggaran tersebut. Pasal 272 ayat (1) KUHP baru menyatakan, setiap orang yang memalsukan atau membuat palsu ijazah atau sertifikat kompetensi dan dokumen yang menyertainya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.***