Para Tokoh Masyarakat Nias di Kota Batam Diminta dan Dihimbau Kepada Penyemat Baju Adat Nias Berikan Klarifikasi Secara Terbuka

LIPUTANTODAY.com – Penyematan Baju Adat Kebesaran Budaya Masyarakat Nias (Ono Niha) kepada salah satu anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau oleh Gembala Gereja Tuhan Di Indonesia (GTDI) Sungai Yordan Batam menjadi buah bibir tokoh masyarakat Nias yang ada di Kota Batam. Kamis (24/8/2023).

Terlihat di dalam postingan akun Facebook @Paulus Rahman Tambunan, Gembala Gereja Tuhan Di Indonesia (GTDI) Sungai Yordan Batam Joe P. Ndruru menyematkan baju Adat Kebesaran Budaya Nias atau Ono Niha kepada Anggota DPRD Provinsi Kepulauan Riau Asmin Patros dalam rangka ulang tahun Gereja GTDI Sungai Yordan Batam Ke 6 (Enam) Tahun.

Atas kejadian tersebut, hampir seluruh Masyarakat Ono Niha terlebih – lebih para sesepuh dan para tokoh adat, orang tua masyarakat yang ada di Kota Batam mulai buka suara.

Herman Lase yang merupakan sesepuh (Orang tua) Masyarakat Nias yang ada di Kota Batam mengatakan, kejadian ini sudah sangat keliru, seakan – akan yang melakukan penyematan Baju Adat Kebesaran Budaya Nias kepada salah satu anggota DPRD Kepri di Batam tidak menghargai Adat dan Budaya Ono Niha, apalagi saya dengar ada kampanye di dalam gereja.

“Kalau itu benar adanya berarti ini sudah kesalahan besar dan sangat – sangat keterlaluan,” pungkas Herman.

Herman Lase menyampaikan, kalau ini acara Gereja berarti ini Umum, bukan acara Adat, tidak semestinya baju Adat Kebesaran Budaya Ono Niha di obralkan di sana.

“Karena memperoleh baju Adat Kebesaran ini bukan segampang membalikkan telapak tangan. Dulu saya dengar banyak korban nyawa dan pikiran untuk memperolehnya. Jadi untuk itu saya meminta agar hal ini dipertanggungjawabkan oleh Penyemat Baju Adat Kebesaran Budaya Nias tersebut,” ungkapnya.

Diharapkan Herman Lase kepada seluruh Masyarakat Nias agar jangan jadi gampangan, bukan persoalan ada undang – undang yang mengatur itu, tapi aturan Adat yang turun temurun dari leluhur kita.

Dalam kesempatan yang sama, Bapak A. Ana Gea juga yang merupakan sesepuh Masyarakat Nias Ono Niha yang ada di kota Batam menyampaikan kekesalannya terkait hal tersebut.

“Saya sangat – sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi, Kami sebagai sesepuh Masyarakat Nias yang ada di Kota Batam keberatan dan sangat tidak merima akan hal ini bisa terjadi, apa lagi ini kan acara gereja,” tuturnya.

A. Ana Gea menegaskan, seharusnya sebagai seorang Gembala, sebelum melakukan hal itu bermusyawarahlah dulu kepada orang tua, sesepuh dan tokoh yang mengerti Adat dan Budaya Nias (Ono Niha) yang ada di kota Batam ini.

“Ini kan menyangkut Adat, Budaya dan Marwah Suku Nias (Ono Niha), bukan seenaknya saja,” tegasnya lagi.

Dikatakan A. Ana Gea, dalam waktu dekat ini, kita akan adakan pertemuan untuk membahas hal ini, kita tidak mau hal ini bisa terulang kembali. Kalau bukan kita masyarakat Nias (Ono Niha) yang menjaga marwah, siapa lagi ?.

“Sebagai Masyarakat Nias, marilah bersama-sama menjaga marwah kita Suku Nias dimanapun kita berada dan terlebih – lebih kita Ono Niha yang ada di Kota Batam Ini, jangan sembarangan menyematkan baju Adat Kebesaran Budaya dari leluhur kita kepada orang lain,” tutup Bapak A. Ana Gea.

Masih dalam kesempatan yang sama, Letkol TNI AD (Purn) B. Zebua selaku orang tua di kota Batam mengatakan, sama sekali tidak setuju terkait Penyematan Baju Adat Kebesaran budaya suku kita Nias terhadap Anggota DPRD Kepri yang terjadi di gereja GTDI Sungai Yordan Batam.

“Seharusnya pada saat Anggota DPRD Kepri itu datang ke Gereja tersebut dan memang benar-benar mereka menghargai di sana, Jubahnya Gembala Penyemat itulah yang disematkan ke dia, bukan Baju Kebesaran Adat Ono Niha, biar suci dia dan melakukan yang benar. Dianya datang kan dengan kerohanian di Gereja bukan dengan adat,” jelasnya.

Ditambahkan Letkol TNI AD (Purn) B. Zebua, perlu dipahami letaknya dimana baju Adat Kebesaran Budaya Ono Niha itu bisa di pergunakan. Apalagi Gereja GTDI Sungai Yordan Batam itu kan bukan gereja khusus masyarakat Ono Niha, hanya Mayoritas. Akan tetapi Gereja Umum.

“Jadi tidak ada kaitannya dengan Adat Ono Niha. Baju Adat itu bisa dipergunakan untuk tamu jikalau itu di Pulau nias, harusnya karena ini Pulau Batam dan bagian dari tanah melayu, lebih layak Baju Adat Melayu lah yang dipakaikan ke dia, itu baru benar, dan itupun harus paham prosedur penyematannya juga. Ini kan Batam Bos, bukan pulau Nias,” tutup B. Zebua dengan kesal.

Hasan Dachi yang merupakan anak dari salah seorang pendiri Budaya di Nias Selatan mengatakan, secepatnya hal ini harus diklarifikasi oleh penyemat Baju Adat Kebesaran Suku Nias ke anggota DPRD Kepri tersebut, kepada Orang Tua, Sesepuh, Tokoh Adat Masyarakat Nias yang ada di kota Batam, biar hal ini tidak heboh.

“Saya sih sangat menyayangkan hal ini bisa terjadi, seharusnya kan sebagai seorang gembala sudah berpendidikan dan pasti memahami akan Adat dan Budaya Ono Niha, tidak seperti ini. Jangan hanya karena kepentingan pribadinya, marwah Ono Niha dianggap sepele oleh orang – orang yang bukan berasal dari Masyarakat Nias. Ke depan jangan sampai Baju Adat Kebesaran Ono Niha dianggap murahan seperti halnya jual pisang goreng yang ada di tepi jalan,” tutup Hasan.

Dengan kejadian ini, Penasehat Adat asal Nias Selatan Haegaso Gaho dan berada di Kota Batam buka suara Baju Kebesaran Ono Niha itu tidak bisa sembarangan untuk dipakaikan kepada seseorang.
Haegaso Gaho mengatakan, Baru Oholu (Baju Adat Nias asal Nias Selatan) itu tidak bisa sembarangan orang untuk diberikan kepada seseorang. Memang kita mengagumi yang namanya tamu. Dalam bahasa Nias. “Sokhi Mate Moroi Aila”, artinya lebih baik mati daripada malu.

“Yang namanya tamu itu punya kategori atau berjenjang. Haegaso Gaho mengatakan, jika dia (tamu) yang mulia, biasanya kita akan sambut dengan pesta besar dan akan kita sematkan baju kebesaran tadi, bukan pada kelompok kecil saja, dan itu pun yang bisa memberikan itu tokoh adat (Siulu) yang ada di lokasi tersebut, kemudian disaksikan para tokoh lainnya dan masyarakat di daerah itu,” tegasnya.

Haegaso Gaho menegaskan lagi, jika ada tokoh agama yang menyematkan itu kepada orang lain apalagi jika dikaitkan dengan politik, maka itu kurang pantas atau tidak tepat untuk dilakukan sehingga bisa menjadi preseden buruk. Menurut Haegaso Gaho, kalaulah itu diberikan secara benar oleh para tokoh yang memiliki kapasitas kepada tokoh yang telah berjasa, berjuang untuk kepentingan besar untuk Nias pada umumnya, bukan untuk kelompok atau organisasi kecil, maka itu tidak jadi masalah

“Saya berharap bahwa hal seperti ini tak berulang kembali kepada pihak-pihak lain. Harus diperhatikan kembali Budaya dan Adat Nias yang sesungguhnya, bila perlu dipertanyakan kepada Tokoh Adat yang memang punya kapasitas di situ,” tutup Haegaso Gaho.

(Red)